35.000,00
Directed by Anggun Priambodo, 99 minutes
Kehidupan domestik tak lagi sakral dalam Rocket Rain. Pernikahan, perceraian, dan segala konsekuensinya diungkapkan segamblang-gamblangnya. Adalah Culapo dan Jansen yang menjadi avatar bagi para lelaki (juga perempuan) yang gundah dan gelisah di seluruh nusantara. Sepanjang film kita melihat keduanya curhat berdua setiap malam, kadang berkeluh kesah, tentang pernikahan, tentang merawat anak, tentang menghadapi keluarga besar. Siangnya mereka melakoni petualangan sureal bersama Pak Kancil dan Rain. Tokoh pertama menjadi tokoh laki-laki yang berhasil menjalani perannya sebagai laki-laki dan suami idaman istri, tokoh kedua mewakili hasrat tanpa batas yang Culapo dan Jansen sukar temukan dalam kehidupan pernikahan masing-masing.
Rocket Rain menjadi begitu berharga karena jarak yang mereka tebas terkait topik-topik ‘serius’ ini, membuka renungan bahkan diskusi yang jujur tentang kehidupan rumah tangga. Tentunya vital dalam kasus ini pendekatan estetis Anggun Priambodo yang menolak untuk dibatasi pakem-pakem film. Logika sebab-akibat dinisbikan, realita film diacak-acak, perspektif dibolak-balik. Bukankah perenungan terbaik seringkali datang dari perspektif berbeda dari yang sudah-sudah? Rocket Rain juga terhitung film langka dalam khazanah sinema Indonesia, karena bisa dengan asyik membicarakan maskulinitas laki-laki tanpa harus mengorbankan gender-gender lainnya sebagai lelucon.
CAST-CREW
DIRECTOR | SCRIPWRITER Tumpal Tampubolon |
Anggun Priambodo | CAST |
PRODUCER Meiske Taurisia | Narpati Awangga |
CO-PRODUCER Amir Pohan, | Rain Chudori |
Sari Mochtan | Maya Norman |
35.000,00
Synopsis
A raw, first-person account of the last war in Gaza in the summer of 2014. Mohamed Jabaly, a young man from Gaza City, joins an ambulance crew as war approaches, looking for his place in a country under siege, where at times there seems to be no foreseeable future. While thousands of things are published on the recurring violence in Gaza, the stories behind them remain hidden. Not this one.
Directed
Mohamed Jabaly
View full product details35.000,00
Tak ada yang pasti dalam Another Trip to the Moon. Ismail Basbeth dan kawan-kawan mendesain dunia mereka sendiri, dengan realita dan logikanya sendiri pula. Ada gadis-gadis berkostum purba, ada anjing-setengah-manusia, ada UFO melintas sesuka hati. Pada paruh awal film kita mendapati pemandangan kehidupan ala pra-sejarah; insan-insan berburu ikan di sungai, mencari kayu di hutan, masak di api unggun. Pada paruh akhir film kita mengintip potongan-potongan kehidupan domestik dalam sebuah rumah modern dengan aksesoris Jawa; istri melayani suami, suami asyik sendiri, istri merawat anak.
Basbeth sadar betul bahwa sinema adalah realita bentukan—bahwasanya ketika pembuat film merekam subjek yang sangat riil sekalipun, pada akhirnya subjek itu tetap dibingkai dalam perspektif yang pembuat film inginkan. Realita film tidak akan pernah setara dengan realita kita. Realita yang lentur ini memungkinkan penjelajahan estetis seliar-liarnya—legenda nusantara mash up dengan ikon-ikon budaya pop. Alhasil, yang biasa menjadi luar biasa, yang luar biasa menjadi biasa. Another Trip to the moon bisa jadi adalah eksplorasi audiovisual paling imajinatif dalam sepuluh tahun terakhir sinema Indonesia.
DIRECTOR | Ismail Basbeth |
CAST | Tara Basro |
Cornelio Sunny | Ratu Anandita |
Mila Rosinta Totoatmojo | Endang Sukeksi |
PRODUCER | Ismail Basbeth |
Andi Pulung Waluyo | Suryo Adho Wiyogo |
CINEMATOGRAPHY | Satria Kurnianto |
EDITOR | Dwi Agus Purwanto |
25.000,00
Directed by Darwin Nugraha, Amir Pohan, 77 minutes
Seberapa banyak penghasilan negara dari eksploitasi sumber daya alam yang kembali ke masyarakat sendiri? Seberapa banyak pula penghasilan negara dari pajak yang didedikasikan untuk infrastruktur jaminan sosial? Pertanyaan ini memang klise, tapi karena klise itu artinya pertanyaan-pertanyaan ini masih saja terus ditanyakan dari tahun ke tahun, dari rezim ke rezim. Ayam Mati di Lumbung Padi hadir pula dengan pertanyaan serupa, terkait dengan polemik harian yang dihadapi warga Blora, tanah yang akrab dengan minyak dan korporat multinasional.
Jawabannya sama juga: entah. Sepanjang film kita melihat penghisapan ekonomi besar-besaran terhadap para kelas pekerja di Blora. Mereka cari pekerjaan harus mengais, cari layanan kesehatan harus mengemis, sementara itu para caleg dan capres enak saja cari suara dengan janji-janji manis. Tidak jarang pula para kelas pekerja itu dijadikan bagian dari kampanye. Ayam Mati di Lumbung Padi secara teknis memang tidak tampak ambisius, tapi tidak banyak dokumenter Indonesia yang mampu dengan lugas mengartikulasikan realita ekonomi yang dihadapi oleh kelas pekerja nusantara. Ayam Mati di Lumbung Padi adalah satu dari sedikit film itu.
DIRECTOR Dawrin Nugraha | CO-PRODUCER Darwin Nugraha |
CO-DIRECTOR Amir Pohan | RESEARCHER Elva Laily |
FIELD DIRECTOR Elva Laily | CAMERA PERSON Elva Laily |
EXECUTIVE PRODUCER Amir Pohan | EDITOR Darwin Nugraha |
FIELD ASSISTANT Indra Purnama |