15.000,00
Sypnopsis
An engaged couple is lunching in a cafeteria, and we follow their conversation as they go into minute detail about what needs to be organized for the upcoming wedding. She stabs compulsively at the food on her plate as they discuss the dowry, and he waves around his hands. We learn that in Indonesia's culturally divided society, neither the preparations nor the wedding itself are simple. This is a glimpse into the life of a modern young people struggling with their parents' cultural legacy.
Director
Ismail Basbeth
25.000,00
Directed by Darwin Nugraha, Amir Pohan, 77 minutes
Seberapa banyak penghasilan negara dari eksploitasi sumber daya alam yang kembali ke masyarakat sendiri? Seberapa banyak pula penghasilan negara dari pajak yang didedikasikan untuk infrastruktur jaminan sosial? Pertanyaan ini memang klise, tapi karena klise itu artinya pertanyaan-pertanyaan ini masih saja terus ditanyakan dari tahun ke tahun, dari rezim ke rezim. Ayam Mati di Lumbung Padi hadir pula dengan pertanyaan serupa, terkait dengan polemik harian yang dihadapi warga Blora, tanah yang akrab dengan minyak dan korporat multinasional.
Jawabannya sama juga: entah. Sepanjang film kita melihat penghisapan ekonomi besar-besaran terhadap para kelas pekerja di Blora. Mereka cari pekerjaan harus mengais, cari layanan kesehatan harus mengemis, sementara itu para caleg dan capres enak saja cari suara dengan janji-janji manis. Tidak jarang pula para kelas pekerja itu dijadikan bagian dari kampanye. Ayam Mati di Lumbung Padi secara teknis memang tidak tampak ambisius, tapi tidak banyak dokumenter Indonesia yang mampu dengan lugas mengartikulasikan realita ekonomi yang dihadapi oleh kelas pekerja nusantara. Ayam Mati di Lumbung Padi adalah satu dari sedikit film itu.
DIRECTOR Dawrin Nugraha | CO-PRODUCER Darwin Nugraha |
CO-DIRECTOR Amir Pohan | RESEARCHER Elva Laily |
FIELD DIRECTOR Elva Laily | CAMERA PERSON Elva Laily |
EXECUTIVE PRODUCER Amir Pohan | EDITOR Darwin Nugraha |
FIELD ASSISTANT Indra Purnama |
15.000,00
"Mereka" bernostalgia akan kisah-kisahnya saat hidup di Pulau "Pengharapan", pengharapan untuk umur yang sepanjang-panjangnya, supaya dapat merasakan rasanya pulang suatu saat, diantara pilihan bebas, atau...
15.000,00
Adalah Tatsuya Yoshida, salah satu seniman besar asal Jepang yang dihormati reputasinya di dunia musik garda depan sejak lama. Kunjungannya ke Jogjakarta tahun lalu adalah kesempatan untuk menyimaknya dari dekat, secara harfiah, baik dalam penampilannya di Yes No Klub, ketertarikannya yang unik terhadap candi dan reruntuhan kuno, atau pribadinya yang matang dan bersahaja. Film berdurasi hampir 25 menit ini merangkum itu semua, serta turut memberikan kesempatan bagi yang ingin menyimak sosok Tatsuya Yoshida dari dekat, secara harfiah.
25.000,00
Directed by Andibachtiar Yusuf, Amir Pohan, 75 minutes
Sepakbola, bagi banyak orang di berbagai belahan dunia, adalah cara yang sentimentil untuk bertahan hidup. Indonesia tidak terkecuali. Sepakbola juga adalah pengingat akan komposisi masyarakat yang cenderung masih terikat dalam kelompok-kelompok, dalam tribal-tribal kecil yang saling koeksistensi. Lagi-lagi Indonesia tidak terkecuali. The Jak boleh jadi spesifik bercerita tentang komunitas pendukung Persija, tapi siapa yang bisa menyangkal apabila pola serupa tidak terjadi dengan klub sepakbola lainnya?
Keasyikan The Jak adalah ia bisa bicara untuk beragam komunitas sejenis di berbagai pelosok Indonesia. Fokus pembuat film bukan pada klub sepakbolanya, tapi pada bagaimana klub yang sama diterjemahkan oleh individu yang berbeda-beda dari berbagai pelosok menjadi suatu ide dan imaji bersama, bagaimana para pendukung bisa merasa terhubung dengan mereka-mereka yang berjibaku di lapangan hijau, yang bisa jadi tidak kenal bahkan tidak punya hubungan darah maupun daerah dengan para suporter. Imagined communities, tutur seorang cendekiawan pada suatu masa, adalah konsep yang mendasari kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa. The Jak, melalui untaian kisah manusianya, adalah pelajaran sederhana tentang fondasi-fondasi yang mengikat kita sebagai masyarakat, yang membingkai masyarakat kita sebagai sebuah komunitas besar.
DIRECTOR Andibachtiar Yusuf |
CINEMATOGRAPHY Farishad Latjuba |
CO-DIRECTOR Amir Pohan |
FILM EDITING Amir Pohan |
WRITER Andibachtiar Yusuf |
SOUND DEPARTMENT Amir Pohan |
STORY Andibachtiar Yusuf |
CAMERA AND ELECTRICAL DEPARTMENT Farishad Latjuba, Andibachtiar Yusuf |
CO-WRITER Amir Pohan |
CAST Ferry Indrasjarief |
EXECUTIVE PRODUCER Amir Pohan, Andibachtiar Yusuf |